Sanggar Seni RKBM CImahi

Sanggar Seni RKBM

Kotak Pencarian

Rumah Kreatif Bunda Mei Headline Animator

Wednesday 30 April 2014

Anak-anak Bukan Kertas Kosong



Di dalam model pendidikan sekolah yang dijalankan saat ini, salah satu asumsi filosofis yang menjadi landasannya adalah teori tabula rasa. Tabula rasa berasal dari bahasa Latin, artinya kertas kosong. Tabula rasa merujuk pada teori yang menyatakan bahwa anak-anak terlahir tanpa isi, dengan kata lain kosong. Teori ini dipengaruhi oleh pemikiran John Locke, dari abad 17.
Dalam pandangan saya, teori yang memandang anak-anak sebagai sebuah kertas kosong adalah sangat reduktif. Hal ini mengakibatkan sentral proses belajar (pendidikan) bukan terletak pada anak, tetapi pada orang dewasa. Sadar tidak sadar, anak-anak dikondisikan pasif (karena mereka hanya sebuah kertas kosong yang harus diisi).
Pengetahuan tentang teori tabula rasa ini menjelaskan fenomena anak-anak sekolah yang pasif dan kegiatan utama belajar yang berpusat pada guru dan fokusnya adalah mengajar (mengisi kertas kosong). Keterlibatan anak tak dianggap terlalu penting, apalagi pendapat dan inisiatif anak. Kalaupun ada, semua itu hanya bersifat suplemen untuk kegiatan utama tadi, yaitu mengisi pada anak-anak.
Lebih repot lagi, pandangan tentang ìkertas kosongî itu terbawa terus dalam pendidikan, walaupun siswa sudah setingkat SMA. Proses belajar tingkat SMA sama saja dengan tingkat SD, seperti menulisi kertas kosong dan anak-anak memperlakukan dirinya seperti kertas kosong (alias pasif). Itulah model belajar yang diketahui dan diyakini kebenarannya, baik oleh guru maupun siswa.
Terus, proses belajar dengan cara ìmenulisi kertas kosongî itu berlanjut hingga tingkat perguruan tinggi. Dosen mencari cara gampang yaitu hanya mengajar (knowledge transfer). Dosen malas untuk berdiskusi. Mahasiswa juga tak mau repot melakukan riset dan belajar sebelum masuk kelas.
Lalu, sampai kapan kertas kosong itu berisi?

Alternatif tabula rasa adalah memandang anak sebagai individu dengan segala sifatnya. Memang ada bagian individu pada anak-anak yang belum berkembang seperti orang dewasa. Tetapi, individu itu bukan kertas kosong yang pasif menerima apapun pengaruh dari lingkungannya.
Ketika kita memandang anak sebagai individu, itu akan membuat proses pendidikan yang kita lakukan berbeda dibandingkan jika kita memandang anak sebagai kertas kosong. Dengan memandang anak sebagai individu, kita lebih melibatkan anak dalam proses pendidikan untuk dirinya sendiri; kita mendengarkan dan memperhatikan pendapat mereka serta menjadikannya sebuah hal yang penting dalam proses pendidikan anak.
Karena sudut pandang itu, saya lebih setuju dengan pandangan Robert T. Kiyosaki (yang berakar dari pemikiran Plato) yang menyatakan bahwa esensi pendidikan itu adalah mengeluarkan (potensi), bukan mengisi anak dengan potongan-potongan informasi.

Jika kita memandang esensi pendidikan adalah sebuah proses mengeluarkan (potensi anak) bukan mengajar (pengetahuan dan informasi), maka kita akan memiliki model pendidikan yang berbeda sama sekali dari yang sekarang ada di sekolah-sekolah. 

Semoga bermanfaat.


No comments: