Sanggar Seni RKBM CImahi

Sanggar Seni RKBM

Kotak Pencarian

Rumah Kreatif Bunda Mei Headline Animator

Sunday 18 November 2012

Ini Caranya Membantu Anak Pemalu Agar Lebih Percaya Diri



Kellie Karlina - wolipop

Orang-orang sering berasumsi bahwa seiring berkembangnya usia sang buah hati, mereka dapat mengatasi rasa malunya. Namun, hasil riset Vanderbilt University yang dipublikasikan pada jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience, Februari 2012 menunjukan bahwa hal tersebut tidaklah benar.
Rasa malu adalah cara seseorang dalam mengungkapkan rasa tidak familiarnya dengan lingkungan yang baru. Jika rasa malu merupakan sifat yang dibawa dari kepribadian seseorang, lingkungan yang tidak mendukung bisa membuat anak menjadi pribadi yang kurang aktif dan tak mau terlibat dalam aktivitas di sekitarnya.
Di sinilah orangtua harus berperan menghilangkan sifat pemalu dari anak dengan sehingga si kecil bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan lebih percaya diri. Berikut ini beberapa cara yang bisa dilakukan seperti dipaparkan circleofmoms:

1. Jangan Memberi 'Label' pada Anak
"Jika Anda selalu mengatakan pada orang lain kalau anak Anda orang yang pemalu, makan si kecil akan merasa dan memercayai bahwa dirinya memanglah sosok yang pemalu," jelas Alison S. Renowned, dokter anak dan ahli parenting. Dalam mengungkapkan perilaku sang anak, buatlah kata-kata yang lebih netral dan tidak menghakimi atau menilainya.

2. Memberi Dukungan pada Anak
Buah hati Anda mengetahui bahwa ia adalah anak yang pemalu. Daripada menutupi hal tersebut, lebih baik dorong dia untuk menjadi anak yang lebih percaya diri. Jangan ikut menganggap sifat pemalunya itu tidak normal, sehingga anak tak terlalu mengkhawatirkannya.

3. Kenalkan pada Hal yang Belum Pernah Anak Lakukan
Melindungi buah hati Anda dari pengalaman yang belum pernah ia lakukan bukanlah solusi yang dianjurkan. Namun hal ini juga tidak berarti Anda langsung memaksanya untuk melakukan hal-hal yang ia takutkan karena bisa menyebabkan trauma atau kecemasan.
Saat mengajaknya mencoba sesuatu yang baru, temani anak. Misalnya saat ia memasuki kelas yang baru sekolah saat tahun ajaran baru, atau menemaninya pada pesta ulang tahun temannya. Keberadaan Anda bersamanya, dapat membuatnya merasa lebih nyaman dan terbiasa dengan kegiatan tersebut. Selain itu, coba juga ajak anak mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat membantunya menghilangkan sifat pemalunya tersebut. Misalnya les menari, olahraga, dan lain-lain yang memungkinkan anak tampil di depan umum melalui kemampuannya.

4. Bantu Anak Menumbuhkan Kepercayaan Diri
Bagi beberapa orangtua yang ditakutkan sebenarnya bukan sifat pemalu yang dimiliki anak, melainkan takut jika sang buah hati tidak dapat memutuskan kemauannya sendiri dan hanya mengikuti teman-temannya.
Sharon Silver, Parenting Coach dan Kontributor RoundUp mengatakan dalam bukunya 'The Key to Building Your Child's Self Esteem', buatlah kondisi yang dapat membangun kepercayaan diri anak dengan memberikannya tugas yang dapat ia lakukan dengan baik. Misalnya menyuruhnya untuk memilih dan memesan makanan yang ia sukai di restoran favoritnya. Hal ini membuatnya lebih percaya diri dan lebih mandiri.

5. Ajari Buah Hati Keterampilan Dasar dalam Bersosialisasi
Anak yang pemalu akan sulit bersosialisasi dengan orang di sekitarnya. Oleh karena itu mulailah dengan mengajarnya hal-hal dasar seperti memandang lawan bicara dan berbicara dengan suara yang lebih lantang. Jika ia sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti itu, ia akan melakukannya juga saat bersosialisasi di lingkungan sekitarnya. Begitu anak sudah mulai beranjak dewasa, ajak ia untuk mengikuti kegiatan yang dapat menumbuhkan kemampuannya bersosialisasi seperti mengikuti kelas teater, drama ataupun klub yang dapat menumbuhkan kepercayaan dirinya.

Rasa malu mungkin bersifat biologis, namun tidak berarti hal tersebut harus memengaruhi tumbuh kembang anak. Dengan pengertian dan dukungan dari orangtua, anak akan belajar secara perlahan-lahan untuk mengatasi rasa malunya.

Tuesday 13 November 2012

Adegan Kekerasan di TV Bikin Masalah Tidur pada Balita



Linda Mayasari - detikHealth

Berhati-hatilah jika sedang menonton berita kriminal atau adegan kekerasan dalam drama televisi, pastikan balita Anda tidak sedang berada di sebelah Anda dan ikut menontonnya. Selain berbahaya bagi kondisi psikologi anak, tontonan tersebut dapat mengganggu tidur anak.
Sebuah studi terbaru menemukan bahwa keluarga yang disarankan untuk beralih dari acara TV yang mempertontonkan kekerasan dalam beberapa bulan, anak-anaknya memiliki kualitas tidur yang lebih baik dibandingkan keluarga yang tidak menerima saran tersebut.
Masalah tidur anak berkurang hingga sekitar 20 persen setelah orang tua memilih tontonan yang lebih mendidik. Tontonan yang baik untuk anak harus disesuaikan dengan usianya.
"Orang tua cukup mengubah tontonannya di rumah agar anak dapat tidur lebih nyenyak," kata Michelle Garrison, penulis utama studi tersebut dari Seattle Children's Research Institute, seperti dilansir foxnews, Selasa (7/8/12).
Untuk melihat apakah menghindari acara TV dengan konten kekerasan dapat meningkatkan kualitas tidur anak-anak, Garrison dan rekan-rekannya melakukan penelitian dan menerbitkannya dalam jurnal Pediatrics.
Penelitian tersebut melibatkan anak-anak antara usia 3 sampai 5 tahun. Sekitar 565 anak dan keluarga berpartisipasi dalam penelitian tersebut dan dibagi menjadi dua kelompok secara acak.
Kelompok pertama terdiri dari 276 anak dan orang tua yang didorong untuk mengubah tontonan keluarga yang semula drama-drama yang mempertontonkan kekerasan dengan tontonan kartun kesukaan anak seperti Dora the Explorer.
Kelompok pembanding lainnya tidak melakukan hal serupa tetapi 289 anak-anak dan orang tua hanya diminta untuk makan makanan yang sehat sebagai gantinya. Kemudian peneliti mengevaluasi hasilnya melalui setiap 6 bulan, 12 bulan dan 18 bulan penelitian.
Pada awal penelitian, 42 persen dari anak-anak pada kelompok pertama memiliki beberapa jenis masalah tidur dan 39 persen dari anak-anak di kelompok kedua. Masalah tidur yang paling umum adalah anak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk dapat tertidur selama beberapa malam per minggunya.
Setelah enam bulan, masalah tidur turun menjadi 30 persen pada kelompok pertama, sedangkan pada kelompok pembanding hanya turun beberapa persen saja yaitu sampai 36 persen. Hasil tersebut terus menurun secara signifikan pada kelompok pertama dan perlahan-lahan pada kelompok kedua setelah satu tahun penelitian.
"Hal ini bukan hanya disebabkan karena konten kekerasan begitu menakutkan bagi anak, tetapi anak akan selalu terbayang-bayang hal tersebut hingga dirinya pergi tidur," kata Dr Umakanth Khatwa dari Boston Children's Hospital di Massachusetts.
Selain memilih konten yang lebih sesuai dengan usia anak, orang tua harus mematikan TV setidaknya 2 jam sebelum tidur, membuat waktu tidur dan waktu bangun yang konsisten setiap harinya. Hindarilah menonton acara TV untuk orang dewasa ketika anak-anak sedang berada di sekitar Anda.