Di
dalam model pendidikan sekolah yang dijalankan saat ini, salah satu asumsi
filosofis yang menjadi landasannya adalah teori tabula rasa. Tabula rasa
berasal dari bahasa Latin, artinya kertas kosong. Tabula rasa merujuk pada
teori yang menyatakan bahwa anak-anak terlahir tanpa isi, dengan kata lain
kosong. Teori ini dipengaruhi oleh pemikiran John Locke, dari abad 17.
Dalam
pandangan saya, teori yang memandang anak-anak sebagai sebuah kertas kosong
adalah sangat reduktif. Hal ini mengakibatkan sentral proses belajar
(pendidikan) bukan terletak pada anak, tetapi pada orang dewasa. Sadar tidak
sadar, anak-anak dikondisikan pasif (karena mereka hanya sebuah kertas kosong
yang harus diisi).
Pengetahuan
tentang teori tabula rasa ini menjelaskan fenomena anak-anak sekolah yang pasif
dan kegiatan utama belajar yang berpusat pada guru dan fokusnya adalah mengajar
(mengisi kertas kosong). Keterlibatan anak tak dianggap terlalu penting,
apalagi pendapat dan inisiatif anak. Kalaupun ada, semua itu hanya bersifat
suplemen untuk kegiatan utama tadi, yaitu mengisi pada anak-anak.
Lebih
repot lagi, pandangan tentang ìkertas kosongî itu terbawa terus dalam
pendidikan, walaupun siswa sudah setingkat SMA. Proses belajar tingkat SMA sama
saja dengan tingkat SD, seperti menulisi kertas kosong dan anak-anak
memperlakukan dirinya seperti kertas kosong (alias pasif). Itulah model belajar
yang diketahui dan diyakini kebenarannya, baik oleh guru maupun siswa.
Terus,
proses belajar dengan cara ìmenulisi kertas kosongî itu berlanjut hingga
tingkat perguruan tinggi. Dosen mencari cara gampang yaitu hanya mengajar
(knowledge transfer). Dosen malas untuk berdiskusi. Mahasiswa juga tak mau
repot melakukan riset dan belajar sebelum masuk kelas.
Lalu,
sampai kapan kertas kosong itu berisi?
Alternatif
tabula rasa adalah memandang anak sebagai individu dengan segala sifatnya.
Memang ada bagian individu pada anak-anak yang belum berkembang seperti orang
dewasa. Tetapi, individu itu bukan kertas kosong yang pasif menerima apapun
pengaruh dari lingkungannya.
Ketika
kita memandang anak sebagai individu, itu akan membuat proses pendidikan yang
kita lakukan berbeda dibandingkan jika kita memandang anak sebagai kertas kosong.
Dengan memandang anak sebagai individu, kita lebih melibatkan anak dalam proses
pendidikan untuk dirinya sendiri; kita mendengarkan dan memperhatikan pendapat
mereka serta menjadikannya sebuah hal yang penting dalam proses pendidikan
anak.
Karena
sudut pandang itu, saya lebih setuju dengan pandangan Robert T. Kiyosaki (yang
berakar dari pemikiran Plato) yang menyatakan bahwa esensi pendidikan itu
adalah mengeluarkan (potensi), bukan mengisi anak dengan potongan-potongan
informasi.
Jika
kita memandang esensi pendidikan adalah sebuah proses mengeluarkan (potensi
anak) bukan mengajar (pengetahuan dan informasi), maka kita akan memiliki model
pendidikan yang berbeda sama sekali dari yang sekarang ada di sekolah-sekolah.
Semoga
bermanfaat.
No comments:
Post a Comment